Jika regulator sudah “menghighlight” pentingnya rapor pendidikan seperti ini. Apa peran kita sebagai pengelola institusi pendidikan untuk memaksimalkan hasil dan mengefisienkan proses?
Salah satunya adalah percaya dengan “rapor” sebagai sarana penting penilaian kualitas siswa. Artinya menurut kami, tes-tes dalam ujian masuk sekolah tidak perlu lagi dilakukan kecuali terdapat penilaian lain yang tidak dapat terbaca dari rapor.
Dengan ini, kita satu tahap mengejar negara maju dan meningkatkan kualitas pengelolaannya.
Di awal kemerdekaan Indonesia corak pengembangan pendidikan memang sangat berat kepada “elite education”, artinya pendidikan dipandang sebagai hak kaum elit, baik elit karena berada dalam lingkar kekayaan ataupun elit karena dalam lingkar kekuasaan.
Seiring dengan tuntutan perubahan zaman, juga tertuang dalam Undang-Undang Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003, upaya menuju pendidikan massal yang berbeda dengan corak pendidikan elitisme rasanya masih jauh dari realita.
Untuk mencapai tujuan pendidikan massal tersebut diperlukan stimulus, pergerakan dari masyarakat dan pelaksana pendidikan, baik pemerintah maupun swasta, untuk merumuskan tentang pendidikan massal, yang mampu memberikan warna terhadap publik kebanyakan, masyarakat umum bukan yang hanya sebagian.
Dalam konteks lingkungan sekolah, simbol-simbol peringkat perlu diperhalus kembali, seperti rangking satuan ke rangking skala, ujian-ujian dan kurikullum sekolah perlu dievaluasi kembali apakah standard yang diberikan melampau dari keperluan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi, dan sebagainya.
Kemudian yang perlu dicermati adalah beban materi, dan berbagai kegiatan tambahan lain yang kemudian apakah pendidikan massal ini reliable dengan kondisi perekonomian masyarakat. Walaupun saat ini dengan adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS), apakah masih diperlukan lagi SPP tambahan untuk dibebankan kepada masyarakat?
Penyelenggaraan pendidikan sudah sepatutnya anggaran APBN dan APBD yang diperuntukkan untuk pendidikan dialokasikan untuk operasional saja, dimana pembangunan infrastruktur yang mengambil porsi juga sama banyak tidak mengurangi hak-hak warga negara dalam mendapatkan pendidikan yang layak.
Dengan ini pola penyelenggaraan pendidikan memerlukan reformasi yang signifikan. Di beberapa negara terdepan dalam pengelolaan pendidikan, akan dapat dilihat bagaimana hal yang penulis kemukakan diatas adalah strategi yang paling efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan pendidikan massal.
Pendidikan massal yang terukur juga harusnya menjadi satu titik poin yang perlu dikedepankan, terukur bukan berarti dengan banyaknya ujian atau target yang terlalu tinggi, tetapi terukur dalam artian satu tahapan ke tahapan yang lain diperlukan standar yang bisa dilalui secara massal.
Hal ini juga dapat diamati di negara yang maju dalam penyelenggaraan pendidikan, ujian kenaikan adalah satu evaluasi, bukan hanya bagi siswa didik, terutama bagi penyelenggara pendidikan. Sehingga dapat di pahami, kewajiban memberikan hak belajar adalah sesuai dengan umur dan kapasitas yang ada untuk mengejar jika tertinggal. Hal ini bertolak jauh kebelakang dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia, momok “tidak naik kelas” adalah salah satu kesia-siaan jika kita melihat bagaimana waktu dan biaya yang dikeluarkan, baik oleh siswa, orang tua dan juga penyelenggara pendidikan.
Saat ini bukan hanya kerja keras yang diperlukan untuk membangun bangsa dan negara, akan tetapi perlu bekerja secara cerdas, cerdas dalam melihat tantangan kedepan, dan memberikan solusi, bukan hanya rapi dan cantik dalam pelaporan diatas kertas.
Seorang kawan Jamaican Preacher pernah mengajukan persoalan serupa ketika dalam perantauan di Inggris, yang menjadikan saya perlu memberikan penjelasan yang bisa dipahami oleh kaean tersebut, saya sampaikan kembali semoga berguna bagi kawan-kawan yang lain.
Kekerasan yang dimaksud memang di sah kan sebagai pendekatan syariat dalam Agama, jika kita melihat Taurat / Old Testament, terdapt syariat yang keras berbuat dosa makan bertaubat dengan harakiri, jumlah rakaat dalam shalat, jumlah ibadah, dsb.
Untuk kita yang suka membaca sejarah Musa maka akan menemukan hal ini, baik dalam Opd Testament maupun kisah yang diangkat kembali dalam Al-Quran, sebagian besar ayat yang di klaim oleh orientalis sebagai hujjah kekerasan dalam Islam pada umumnya bercerita tentang Bani Israel sebelumnya, seperti ayat qisas.
Menariknya ketika risalah Nabi Isa turun, pendekatan muamalah ini jauh bertolak belakang, pendekatan lunak pun diperkenalkan, tidak salah jika orang-orang yang membaca New Testament memahami pendekatan kasih dalam risalahnya, walaupun dalam segi Ibadah masih dalam kuantitas yang cukup besar.
Kemudian apa menariknya Islam, ini pertanyaan berikutnya yang ditanyakan kawan saya, saya sampaikan yang dikukuhkan dalam Islam adalah Wasathiyah, yakni salah satunya dapat dipahami pendekatan baik keras (seperti kaum Nabi Musa) maupun lunak (seperti kaum Nabi Isa) hanya bisa dijustifikasi dalam bentuk pelembagaan keadilan, semua pendekatan tsb hanya bisa disahkan dalam yurisdiksi, keputusan ketua, pemimpin, sidang hakim, jumhur dan musyawarah.
Mengakui kekerasan dalam Islam sama seperti mengakui kekerasan dalam pendidikan, dalam pengasuhan anak, dalam keseharian, yang realita ini selalu ada tapi tidak pernah diakui, setidaknya begitu saya melihat peradaban bangsa di eropa.
Mereka memaki, mereka menghardik anak-anak juga tidak jauh lebih baik daripada kita disini, tetapi mereka tidak pernah mengakui kekerasan dalam pendidikan mereka, setidaknya dalam konsep legal dan akademik mereka.
Pun begitu hendaknya kita sebagai Muslim, maupun sebagai entitas lainnya.
Mengakui keerasan itu seperti mundur beribu langkah ke dalam zaman batu yang belum menerima risalah, seperti narasi Kartini “Habis gelap terbitlah terang”, maka apa yang jelas terlihat dalam terang sulit disampaikan jika obor selalu dibiarkan padam dalam kegelapan.
Saya teringat 10 tahun lalu, seorang alumni UGM di kawasan Kaliurang beternak Sapi perah untuk hidup, value yang beliau sebutkan dalam beternak dan bertani banyak petani sambil-sambilan, ini terlihat dari banyak variasi tapi tidak paham berapa kuantitas minimal untuk hidup, dengan keterbatasan sumber daya.
Dalam praktiknya beliau berhitung satu kepala bisa hidup dengan minimal 3 ekor sapi perah, dan begitu penambahannya jika bertambah kepala dalam keluarga.
Memang kita bukan yang pertama menanam Alpukat (khusus) di kawasan Rimbo Sago, tetapi juga bukan yang kedua. Di kawasan areal yang mendaki memang menjadi kekhawatiran banyak puncak bukit tergerus karena kehilangan vegetasi yang mampu mengikat tanah secara kuat, insyaallah tanaman akar tunjang ini akan sangat membantu.
Sebagaimana teknik mina padi, di kawasan pegunungan ini, yang hujan dan matahari cukup, pertumbuhan ilalang memang luar biasa, maka ini pertama kali di kawasan ini penanaman ini di tumpang dengan gembalaan kambing, Kambing Kacang kampung yang punya ketahanan dan jangkauan ekplorasi dengan medan yang tangguh.
Kita berharap kambing gembalaan adalah satu tren yang bisa di eksplorasi lebih jauh kedepannya.
Kami mulai bertahap dengan berpartner dengan pemilik tanah, pengelola dan juga investor yang juga memiliki visi yang sama. Semoga Allah berkahi, dan dapat memberikan hasil yang cukup, sehingga ide ini dapat di duplikasikan di daerah sekitar, harapannya menjadi alternatif cara bertani yang lebih produktif, insyaallah.
Untuk kawan-kawan yang berada di daerah jangkauan distribusi, Medan, Pekanbaru, Padang, dan lainnya, dapat bersiap dan menjemput peluang, insyaallah kedepannya bisa berkolaborasi dalam pemanfaatan komoditi tersebut untuk konsumsi end customer.
Kita naikkan pertanian perkebunan kita menuju skala Industri 4.0, harus bisa!!
Sekilas kita akan beranggapan Wind Farm ini adalah wajar dibangun di Inggris, karena mereka punya sumberdaya dan kapital untuk membangun.
Tetapi ada satu sisi yang ternyata perlu kita ekplorasi, wilayah Cornwall ini termasuk wilayah yang subur akan Wind Farm, bukan karena dua hal diatas yang akan saya sorot, tetapi karena mereka sudah MEMULAI dari windmill sejak 300-400 tahun yang lalu, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk beradaptasi dengan teknologi yang baru.
Ada cost yang lebih besar sebenarnya dari teknologi, yakni sustainability, diterima oleh masyarakat, SDM yang tersedia mendukung operasional, tanah yang bisa diberdayakan, dan yang terpenting juga tidak ada gap sosial, kita bisa bayangkan jika hal seperti ini dibangun di daerah yang memiliki gap sosial, akan mahal untuk memilihara keamanan aset dsb.
Berapa banyak daya terpasang Wind Turbine di UK, sampai 2016 tercatat sekitar 15,6 GW jumlah yang fantastis, kira-kira cukup untuk mensuplai listrik pulau sumatera yang memiliki beban sekitar 12 GW, sedangkan luas UK sendiri tidak lebih dari 1/2 pulau sumatera.
Yang menarik juga, resistensi warga masih juga terjadi di UK, resistensi tapi memilki kapasitas terpasang 15,6 GW ini luar biasa, walau dalam kapital UK diuntungkan oleh regulasi nasionalnya yang memberikan kesempatan untuk menggenarasi sumber energi oleh swasta.
Indonesia juga sebenarnya secara UU sudah dijami beberapa tahun sejak reformasi (kalau tidak salah ingat), akan tetapi dalam implementasi memang Indonesia terlambat melangkah.
Saya pernah melihat roadmap energi ini sekitar tahun 2005, tidak terlalu banyak ada perubahan yang signifikan, yang kemudian disadari pada 2 tahun pemerintahan SBY, dan terus diprogress sekarang ini pada pemerintahan Jokowi.
Jika kita lihat map Wind Farm Cornwall yang saya attach, yang juga perlu dibangun adalah industri penopang, dan gap sosial, karena tanpa kedua hal tersebut rasanya terlalu mahal biaya untuk memulai (start-up) dan mempertahankan keberlangsungan (sustainability).
Semoga menjadi pencerahan dan melecut semangat kita,
Mengingat diskusi MES UK dua tahun lalu tentang platform ekonomi syariah project IDB dengan BAPENAS.
Terimakasih pak jokowi, pak JK, bu sri mulyani, walau platform ekonomi syariah ditolak awal-awal, ternyata disaat kepepet begini banyak juga yang tereksekusi.
Insyaallah dua periode lagi, siapapun presidennya Indonesia semakin mature dan siap dengan ekonomi syariah.
Saat ini kita masuk ke periode ekonomi syariah diperkenalkan dalam tata kelola pemerintahan (seperti wacana yang didiskusikan pada TALK Insight KIBAR awal tahun lalu). Periode sebelumnya masyarakat hanya tahu ekonomi syariah hanya bank, dan asuransi, ini cerita berikutnya.
80T dana yang besar, akan muncul kontrol alami dari masyarakat, tahun depan akan sulit bu Sri berkata semua hutang atau sumber pendanaan dan peruntukannya tercampur, seperti yang disampaikan skrg.
Sumber dan penyaluran harus dipilah, pajak pun harus lebih hati-hati tidak bisa sekedar hitungan letak angka.
Tahun ini bicara pendanaan APBN defensif tentang harus adanya hutang, tahun depan akan mulai bicara alternatif pendanaan baik sukuk, musyarakah, bahkan hingga syariah investement board; untuk memisahkan yang halal.
Sangat disayangkan jika masing-masing pihak menafikan adanya alternatif jawaban terhadap satu persoalan, tentu kita tidak berharap semua persoalan terpuruk dalam sebuah jalan buntu, terlebih yang kita bicarakan adalah sama-sama bagaimana membangun bangsa dan negara ini.
Membangun tanpa hutang, apakah tidak mungkin?
Bagi sebagian pihak, tentu tidak terfikir alternatif lain, karena pemahaman dan metodologinya memang memilih membangun dengan mengkalkulasi penambahan modal dalam bentuk hutang, sah-sah saja, tentu dengan berkembangnya berbagai alternatif tentunya pemahaman tersebut akan mendapat reaksi yang beragam.
Ditengah-tengah sudut pandang tersebut, ekonomi islam saat ini juga berkembang, dia tidak stagnan, dimulai dari muamalah dasar antar satu pihak dengan pihak lainnya, hingga perbankan, asuransi, saat ini adalah momentum yang tepat untuk memperkenalkannya dalam tata kelola keuangan negara.
Selalu ada jalan keluar, boundary ini yang kita tetapkan, seperti menetapkan rasio hutang sehat, tidak berhutang atau menambah hutang juga seperti meletakkan angka nol pada pertumbuhan rasio hutang.
Permasalahan yang timbul dari kebijakan tersebut yang kemudian secara detail perlu dicarikan solusinya, apakah perlu melakukan re-valuasi aset, restrukturisasi hutang, dan sebagainya.
Bersiap untuk bertarung memberikan alternatif yang lebih berkeadilan dan rasional.
Di awal semester ini kita akan coba memulai analisa kembali terhadap sektor pendidikan, sektor yang paling penting untuk terus-menerus di kembangkan, baik dari materi pengajaran, proses belajar, termasuk kemudahan akses oleh masyarakat dan juga pencapaiannya secara nasional, termasuk didalamnya efeknya terhadap sustainable development kita.
Di maraknya beasiswa LPDP, dan tingginya animo untuk sekolah ke luar negeri, perlu kita cermati kembali bagaimana animo ini bisa mempengaruhi animo kuliah di dalam negeri, apakah insentif, hingga biaya hidup yang terlalu pas-pasan juga turut mempengaruhi hal tersebut, tentu perlu di tinjau mendetail.
Dalam data forlap RISTEKDIKTI dapat kita lihat distribusi program studi nasional, walaupun pemaparan program studi nya pun perlu di kritisi, karena kurang apple to apple. Distribusi program studi nasional sudahsangat baik jika mengacu kepada kesimpulan yang ingin kami arahkan.
Dari keseluruhan program studi, apakah sudah terbayang di benak kita, program studi yang memiliki pengaruh besar terhadap produksi riil, selintas kita akan mulai mengklasifikasikan Ekonomi dan Pertanian, kemudian diikuti oleh Teknik. Sedangkan pilihan pertama di versi kami jatuh kepada Teknik, Pertanian dan Ekonomi.
Di kota-kota besar, yang juga memiliki universitas-universitas yang mapan dan reputasi baik, kita bisa melihat bagaimana distribusi program studi juga memiliki kemiripan dengan nasional, artinya sektor riil produksi, perbaikan dan inovasi teknis memiliki proporsi yang cukup tinggi.
Namun di masa mendekati 20 tahun sejak reformasi, dan otonomi daerah, kita bisa lihat distribusi di daerah yang memiliki kemampuan produktifitas rendah, juga di pasok oleh sumberdaya manusia yang minim dalam sektor produksi riil, data saya paparkan dari dua propinsi di barat (sumatera barat) dan timur (papua).
Jika kita melihat baik di media, BPS dan banyak data lainnya, ada dua kota yang menarik di tinjau, yakni Surabaya (Jawa Timur) dan Bandung (Jawa Barat) yang perkembangan inovasi aplikatif dalam manajemen kota sangat-sangat luar biasa. Sedangkan di daerah-daerah lain, hal tersebut sangat minim, jangankan untuk ke arah inovasi aplikatif, kita bisa lihat bagaimana website-website pemda dan universitas sangat-sangat standar dan basic, mungkin kita mengeluarkan biaya yang sama, tapi kemampuan akan sumberdaya yang terbatas akan menjadikan inovasi kita dalam sektor produksi riil juga terbatas.
Selain menjaga kualitas untuk range daerah dan universitas yang sudah mapan, ada baiknya kita juga perlu menjaga pertumbuhan pendidikan atau universitas ini tetap ke arah positif. Pemerataan yang diupayakan pemerintah juga dapat tertolong oleh pemerataan sumberdaya yang fresh graduate, belum memiliki demand (gaji) tinggi terhadap kualifikasinya, dan tercapainya yang sama-sama kita inginkan, yakni pemerataan dan pertumbuhan yang keberlanjutan.
ini menjelaskan lebih detail pembahasan kita sebulan lalu, yang saya kutip dari buku “Muslim Economic Thinking”, sesorang sebelum Adam Smith.
Tidak tepat juga, karena sebelum Ibn Khaldun sebenarnya sudah banyak yang menyampaikan, para rasul yang diberikan hikmah.
Bapak saya memberikan pencerahan lebih setahun lalu, ketika dalam diskusi (topik diskusi bapak anak yang selalu berat ), starting awal teori ekonomi modern adalah rantai produksi, sedangkan starting awal ekonomi dalam kacamata islam (muamalah) adalah pengakuan kepemilikan.
Keilmuan, sosial, hukum, ekonomi dan juga teknik, sains, medis, yang saat ini kita nikmati dengan berbagai niche, cabang yang begitu banyak, cendekiawan menyebutnya perkara furu’iyah yang semakin melebar akan menghasilkan berbagai argumentasi yang terbatas, dalam dunia akademik kita jumpai batasan koridor dalam penyusunan kerangka berfikir, sehingga secara sadar kita telah meletakkan argumentasi kita ke dalam batasan, batasan ini yang secara umum diakui secara keilmuan, cendekiawan menyebutnya khilafiyah, khilafiyah ini yang kemudian secara obyek dan subyek akan menyebabkan pandangan yang berbeda, menjadi obyektif selama dalam kerangka pandangan yang mengakui batasan, kekhilafan tersebut, sehingga wajar kemudian yang lahir postulat relatifitas.
Dalam keilmuan sebelum menjadi banyak cabang, hanya terdapat dua pembagian, yakni ilmu tentang ibadah dan ilmu tentang muamalah, ilmu tentang muamalah ini yang menghasilkan keilmuan yang bercabang-cabang, dimulai dari interaksi sosial, hukum sosial, ekonomi, dsb yang kurang lebih berbicara tentang interaksi manusia dengan manusia lainnya, makhluk lainnya, dan juga lingkungannya, yang kedua belah pihak memiliki posisi yang berimbang, bukan penghambaan penuhanan.
Prinsip dasar dari muamalah adalah adil, pengakuan hak dan eksistensi kedua belah pihak (manusia dengan yang lainnya) secara sejajar, dan hanya diperkenankan pengecualian dengan ketentuan yang diizinkan oleh Allah, seperti menyembelih binatang untuk konsumsi, mengambil kuasa atas manusia lainnya dalam batas yang diperkenankan (suami istri, orang tua anak, pemimpin dan rakyatnya, dsb). Keadilan yang paling mendasar adalah pengakuan atas eksistensi dan hak yang sama atau ditentukan berbeda oleh tuhan.
Kemudian yang menjadi ilmu ini bercabang, menjadi berbagai aneka dan kompleks apa? ya khilafiyah dari para penuntut ilmu, pengajar, muallim, scholars, dan berputar-putar memperdebatkan khilafiyah disana semakin menjauhkan kita dari hikmah, esensi ilmu.
Ditengah teror yang terus bergejolak, tentu muncul rasa was-was yang menyebabkan kita khawatir dan kehilangan rasa aman, maka seyogyanya kita berdoa agar Allah memberikan rasa aman dan menenangkan hati kita, karena Allah sebaik-baik pemberi rasa aman.
Dalam banyak kajian pendidikan karakter disebutkan banyak hal tentang moral, karakter yang akan mencegah kita untuk melakukan hal yang menyakiti selain diri kita. Membentuk manusia anti teror artinya kita berusaha membentuk manusia yang bermanfaat, yang menjadi rahmat bagi sekitarnya.
Dalam Kitab Al-Iman Ibn Taimiyyah menyebutkan tiga perangkat agama, yang juga sesuai dengan hadits kedua dalam Arbain Annawawiyah, yakni tentang Iman, Ihsan, dan Islam. Jika masuk dalam skala prioritas, banyak ulama menjelaskan yang mana harus didahulukan maka disebutkan dalam urutan dalam hadits yang lain adalah Iman, dan dalam kerangka hal pengembangan diri maka yang berkembang terlebih dahulu adalah Islam, Iman kemudian Ihsan.
Hal ini menarik bagaimana dalam bahasan yang lain ulama-ulama pemikir menyebutkan bagaimana hubungan Islam, Iman dan Ihsan ini tidak sejelas bagaimana dalam hadits kedua arbain menjelaskan apa yang menjadi rukun dalam Islam, Iman dan Ihsan.
Hal ini menarik untuk kita gali lebih dalam dan memaknai kembali hikmah-hikmah diatas dengan kondisi kekinian untuk menjadikan kita bermental produktif, memberikan keselamatan bukan hanya diri kita, juga orang lain, bukan hanya keselamatan dunia, juga keselamatan akhirat yang diridhai oleh Allah, bukan hanya memajukan diri kita juga tidak mendzalimi orang lain.
Dalam kerangka kekinian banyak penjelasan dari kompetensi yang sebenarnya jika kita pahami adalahturunan dari penjabaran tiga perangkat diatas, yakni SpiritualQ, EmotionalQ dan IntelligenceQ, atau Skill, Knowledge, Attitude menariknya dalam pembelajaran saya baru-baru ini saya mendapatkan ibrah dan memahami perpaduan kompetensi tersebut dapat dijelaskan dalam grafik pengembangan SIMPLE kompetensi yang dikembangkan oleh Dr Eddy Iskandar, yang insyaallah akan coba dikembangkan kedepan oleh penulis dalam Worldclass Ummah sebagai kerangkan pengembangan kompetensi Ummah.
Kompentensi MORAL adalah integrasi antara kompetensi kehanifan akan Ihsan dan keteguhan akan Iman, atau secara umum dapat disampaikan adalah antara integrasi kompetensi antara SpiritualQ dan EmosionalQ. Kompentensi antara keteguhan atas apa yang manusia percayai dan kompetensi hati yang sehat, ketika emosional (Ihsan) dan spiritual (Iman) dibangun bersama-sama maka muncullah turunan dari kompetensi tersebut yang juga memperluas dari sekedar kompetensi indivual ke kompetensi manfaat (sosial), yakni MoralQ (Akhlak).
Dalam banyak kajian MoralQ (Akhlak) umumnya adalah tentang pembahasan pengetahuan akan akhlak, hal ini tidak sepenuhnya salah, dan dengan pemahaman yang diatas ini, dapatlah kita sampaikan pemahaman sangat kurang tepat, MoralQ adalah implementasi dari kompetensi SpiritualQ (Iman) dan EmosionalQ (Ihsan), MoralQ bersifat bentuk nyata implementasi dari amal yang didasari oleh keyakinan, jika MoralQ coba untuk dijelaskan maka hal ini dalam kerangka mengidentifikasi.
Dari uraian diatas untuk membentuk manusia yang anti teror, yang tidak mendzalimi orang lain, maka yang perlu kita kuatkan adalah SpiritualQ (Iman) dan EmotionalQ (Ihsan), semoga kita dapat membentuk mental dan karakter-karakter ini sebagai kompetensi untuk sukses, bermanfaat dan berwawasan, menjadi Ulul Albab.